Perselingkuhan suami semestinya tak dilihat sebagai kesalahan istri. Apalagi jika kemudian istri diberi beban tanggungjawab kesalahan atas perselingkuhan suaminya.
"Perselingkuhan sejatinya terkait dengan moralitas, sehingga pendekatannya bukan 'taat kepada suami' tetapi dengan pendekatan bagaimana menumbuhkan kesadaran akan pentingnya isi dari akad nikah pada prosesi pernikahan, yang sebenarnya mengandung perjanjian antara suami dan istri untuk saling berkomitmen kuat menumbuhkan keluarga sakinah, penuh keharmonisan, dan azas musyawarah," jelas Ir Dra Giwo Rubianto, MPd, pendiri Gerakan Wanita Sejahtera, kepada Kompas Female.
Husein Muhammad, Komisioner Komnas Perempuan yang juga penulis buku Islam Agama Ramah Perempuan, turut mengungkapkan pandangannya. Dalam kasus banyaknya perselingkuhan dan perzinahan, betapa anehnya jika perempuan atau istri diberi beban tanggungjawab kesalahan, jelas Husein menambahkan, padahal yang salah adalah laki-laki itu sendiri.
"Perselingkuhan adalah hasrat seks laki-laki yang tak bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri. Ketaatan dan kepatuhan istri tidak serta-merta menjamin terpenuhinya hasrat itu. Bahkan dengan empat perempuan sekalipun," lanjutnya.
Hasrat seks yang tak bisa dikendalikan seperti ini sesungguhnya juga dimiliki perempuan atau istri, kata Husein. Bahkan kadarnya relatif bisa sama, lanjutnya. Tetapi perempuan atau istri mampu mengendalikannya. "Perselingkuhan lebih pada soal komitmen moral individu, baik istri maupun suami," ujar Husein.
KOMPAS.com, Wardah Fazriyati | wawa | Rabu, 8 Juni 2011 | 18:47 WIB